Halaqah 65: Pembahasan Dalil Pertama QS An Nisa 48 dan 116

Halaqah 65: Pembahasan Dalil Pertama QS An Nisa 48 dan 116
Halaqah yang ke-65 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhāb bin Sulaiman At-Tamimi rahimahullāh.
Beberapa dalīl yang menunjukkan tentang apa yang beliau tetapkan, apa yang beliau simpulkan bahwasanya bid’ah itu lebih dahsyat daripada dosa-dosa besar.
Kalau yang di maksud dengan الكبائر di sini, kira-kira الكبائر dengan makna yang umum atau makna khusus?
Kalau di sebutkan bid’ah, بدعة أشد من الكبائر isyarat bahwasanya yang di maksud dengan الكبائر adalah yang berada di bawah bid’ah, yaitu kabāir dengan makna khusus.
Mustaqim tidak seandainya kabāir di sini, kita bawa kepada makna yang umum? Laa yastaqim. Bagaimana bid’ah lebih dahsyat daripada dosa-dosa besar termasuk di antaranya adalah syirik.
Laa, dalam hadīts disebutkan bahwasanya syirik adalah:
أعظم الذنوب عند الله
“Dosa yang paling besar di sisi Allāh adalah kesyirikan”
Thayyib, dari sini kita tahu bahwasanya makna kabāir di sini adalah makna yang khusus bukan makna yang umum. Beliau mendatangkan beberapa dalīl dari Al-Qur’ān dan juga beberapa dalīl dari Sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Adapun dalīl dari Al-Qur’ān, maka yang pertama adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
وقال الله تعالى: إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
“Sesungguhnya Allāh tidak akan mengampuni dosa syirik” (QS. An-Nissā:48)
Ayat ini, ayat yang pertama yang dibawakan oleh beliau. Beliau ingin tunjukkan dengan ayat ini bahwasanya bid’ah, itu lebih besar daripada dosa-dosa besar.
Ini perlu ta’amul yang demikian, karena ayatnya di sini berbicara tentang syirik, padahal di dalam bab ini yang beliau sebutkan hanya bid’ah dengan dosa-dosa besar.
Di dalam judul bab nya tidak di sebutkan tentang syirik, kalau di sebutkan di dalam bab nya, di sebutkan tentang syirik أن شرك أشد من الكبائر, pas kita mendatangkan firman Allāh إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ, itu kalau bab nya bab باب ماجاء أن أن شرك أشد من الكبائر.
Itu kalau kalimatnya adalah الشرك karena kita ingin menjelaskan bahwasanya syirik ini adalah yang paling besar sehingga dia tidak diampuni dosanya.
Adapun dosa besar yang lain masih,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allāh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
Yang disebutkan dalam ayat ini yang pertama adalah syirik yang kedua adalah yang ada di bawah syirik (bid’ah dan juga kabāir), itulah yang ada di bawah syirik.
Thayyib, berarti yang disebutkan di sini adalah syirik dan apa yang ada di bawah syirik.
Lalu kenapa beliau di sini mendatangkan ayat ini padahal di sini perbandingannya adalah antara syirik dengan apa yang ada di bawah syirik. Dan apa yang ada di bawah syirik masuk di dalamnya bid’ah dan juga kabāir.
Kalau yang dibandingkan adalah syirik dengan apa yang ada di bawah syirik, jelas. Tapi di sini beliau mendatangkan ayat ini di dalam bab ما جاء أن البدعة أشد من الكبائر (bid’ah itu lebih dahsyat daripada dosa besar).
Maka sebagian surah menjelaskan bahwasanya bid’ah kalau tadi kita lihat di sini, urutannya syirik, bid’ah dengan kabāir, maka dia memiliki sifat yang menjadikan dia lebih dekat kepada syirik daripada kepada dosa besar.
Dia memiliki sifat yang menjadikan dia lebih dekat dengan syirik daripada kepada dosa-dosa besar.
Thayyib, apa di antara persamaannya?
Disebutkan bahwasanya di antara persamaannya bahwasanya orang yang melakukan syirik ketika dia melakukan syirik niatnya adalah ibadah. Orang melakukan sesuatu di depan patung yesus (misalnya) ketika dia melakukan kesyirikan, niatnya adalah ibadah dan makna ini juga ada di dalam bid’ah. Karena orang yang melakukan bid’ah inginnya adalah ingin beribadah.
Baik, adapun kabāir, ketika dia melakukan dosa besar tadi, orang yang melakukan kabāir maka niatnya bukan ibadah, dia memahami dan mengetahui bahwasanya itu adalah dosa. Dia melacur, dia minum minuman keras tidak ada niat apa? Ibadah.
Dia paham bahwasanya itu adalah dosa, berbeda dengan bid’ah, maka niat orang yang melakukannya adalah ibadah, dan ini makna juga ada di dalam orang yang melakukan kesyirikan.
Sehingga dari sisi ini, bid’ah ini lebih dekat dan memiliki persamaan dengan kesyirikan, dari sisi yang lain orang yang melakukan bid’ah seakan-akan dia telah menjadikan dirinya sebagai musyari’, menjadikan dirinya sebagai yang mensyari’atkan.
Dia menentukan ini di sunnahkan, ini di wajibkan, ini di syari’atkan. Itu adalah orang yang mumtadi’ atau orang yang melakukan bid’ah dan orang yang melakukan demikian berarti dia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tauhīd, masuk di dalam tauhīd al-uluhiyyah yaitu meng-Esa-kan Allāh di dalam masalah hukum syar’i.
Sebagaimana disebutkan oleh syaikh Abdul Muhsin ketika beliau membantah sebagian jama’ah yang mereka menambah di dalam pembagian tauhīd dengan tauhīd al-hakimiyyah. Beliau mengatakan bahwasanya, tidak perlu menambah dengan tauhīd al-hakimiyyah, karena al-hakimiyyah di sini, (hukum) di sini ada dua.
Biasa artinya adalah hukum syar’i atau hukum kauni, kalau dia adalah hukum kauni maka ini masuk di dalam tauhīd rububiyyah. Hukum kauni maksudnya adalah diciptakannya alam, hidup dan juga meninggal, digerakkannya matahari dan seterusnya, maka ini adalah hukum kauni.
Kita Esa-kan Allāh di dalam hukum kauni, berarti ini masuk di dalam apa? Rububiyyah.
Tapi kalau yang di maksud adalah hukum yang syar’i maka ini adalah masuk di dalam tauhīd uluhiyah.
Baik. Orang yang melakukan bid’ah berarti dia bertentangan dengan tauhīd al-uluhiyyah sehingga dia digabungkan (di samakan) dengan kesyirikan. Lebih dekat kepada syirik daripada kepada kabāir.
Sehingga beliau mendatangkan ayat ini,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Bid’ah ini lebih dekat kepada kesyirikan daripada kabāir karena masing-masing dari syirik maupun bid’ah itu maksudnya adalah apa? Adalah ingin taqarrub kepada Allāh, ingin beribadah kepada Allāh.
Dari sisi ini menunjukkan bahwasanya bid’ah lebih أشد daripada kabāir, lebih dahsyat lebih besar dosanya daripada dosa besar yang besar, karena sama-sama pelakunya melakukan bid’ah maupun kesyirikan dan niatnya adalah bertaqarrub kepada Allāh Azza wa Jalla.
Itu adalah sebab kenapa beliau mendatangkan ayat ini, ingin menunjukkan kepada kita bahwasanya bid’ah ini lebih dekat kepada kesyirikan daripada dosa-dosa besar.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Fadhlul Islam]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top