Halaqah yang ke-53 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.
Semakin tinggi keislaman seseorang, semakin pasrah dengan keputusan Allah dan rasul-Nya. Bahkan seandainya keputusan tersebut berbeda dan bertentangan dengan hawa nafsunya, dia siap untuk meninggalkan hawa nafsunya tadi dan menggunakan keputusan Allah dan rasul-Nya. Bahkan seandainya keputusan tersebut bertentangan dengan keinginan dari orang tuanya, keinginan dari orang yang dia cintai. Dia yakin bahwasanya apa yang diputuskan oleh Allah dan rasul-Nya itu lebih baik, bagi dirinya dan orang lain.
Ini semakin kuat dan semakin besar kepasrahan seorang muslim.
Oleh karena itu dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan tentang kewajiban untuk bertahakum dan merasa ridho dengan keputusan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sampai Allah Subhanahu Wa Ta’ala menafikan keimanan dari seseorang sampai dia berhukum dan menjadikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sebagai hakim.
{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [النساء : 65]
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
فَلَا وَرَبِّكَ
Tidak demi Rabbmu.
Apa yang tidak?
لَا يُؤْمِنُونَ
Mereka tidak akan beriman.
Tidak dinamakan beriman.
حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
Sampai menjadikan dirimu sebagai hakim di dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Makanya seorang muslim, ketika dia terjadi perselisihan, baik dengan temannya, dengan keluarganya, dengan siapa saja, yang pertama kali dalam hatinya muncul keputusan Allah dan rasul-Nya. Karena itulah yang paling baik bagi saya. Saya siap, baik keputusan tersebut sesuai dengan pendapat saya sementara ini, atau sesuai dengan pendapat teman saya.
Kalau memang itu adalah keputusan dari Allah dan rasul-Nya. Bukan justru mencari-cari bagaimana pendapat tadi sesuai dengan dicarikan dalilnya supaya kelihatan ilmiah dan seterusnya. Tidak.
Buka hanya menjadikan Nabi Shallallâhu Alaihi Wasallam, sekadar sebagai hakim saja, tidak cukup berhenti sampai di situ, tapi ada perkara yang lain harus dia lakukan. Bagaimana seandainya Nabi Shallallâhu Alaihi Wasallam sudah mengeluarkan sebuah hukum. Bagaimana seandainya dia sudah menemukan hadits yang memberikan keputusan, menunjukkan yang benar terhadap apa ya dia perselisihkan.
حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka haroj, berat hati terhadap keputusan Nabi Shallallâhu Alaihi Wasallam.
Kalau masih ada haroj, masih ada berat hati di dalam hatinya berarti masih لَا يُؤْمِنُونَ. Kapan menjadi sempurna? Ketika di dalam hatinya dia menemukan kelapangan atas keputusan dari Allah dan juga rasul-Nya.
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
Terhadap apa yang Engkau putuskan wahai Muhammad.
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Dan mereka menyerahkan diri dengan sebenar-benar penyerahan.
Ini adalah sikap seorang muslim.
Dan dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan :
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا} [الأحزاب : 36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
Tidak boleh bagi seorang yang beriman baik laki-laki maupun wanita apabila Allah dan rasul-Nya sudah memutuskan sesuatu untuk dia.
أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Maka tidak boleh dia memiliki pilihan yang lain.
Pilihan yang satu bagi orang yang beriman baik laki-laki maupun wanita adalah apa yang diputuskan oleh Allah dan rasul-Nya itu saja. Dan dia yakin seyakin-yakinnya disitulah kebaikan bagi dirinya, maslahat bagi dirinya. Meskipun secara dhohir mungkin di depannya dia melihat sepertinya merugikan dia, menghancurkan kehidupannya, dan seterusnya.
Tapi orang yang beriman yakin bahwasanya dibalik keputusan Allah dan rasul-Nya tersebut ada hikmah, ada maslahat.
Oleh karena itu, ayat ini jelas di antara kesempurnaan Islam seseorang adalah ketika dia bertahakum kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya di dalam seluruh perkara yang dia hadapi. Ini adalah termasuk konsekuensi dari keislaman dia. Dan barangsiapa yang bertahakum kepada thaghut, maka ini adalah meninggalkan satu di antara konsekuensi Islam, karena dia berarti masih beriman dengan thaghut tersebut. Padahal dalam Islam, kalau sudah menyerahkan diri kepada Allah, maka dia harus meninggalkan thaghut tersebut, maka barangsiapa yang bertahakum kepada thaghut, menunjukkan bahwasanya dia masih meninggalkan sebagian dari konsekuensi Islam. Dan ini adalah tercela dan di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menisbahkan tahakum kepada thaghut ini sebagai bentuk penyesatan dari syaiton. Dan ini menunjukkan bahwasanya tahakum kepada thaghut, ini adalah perintah dari syaiton. Dan inilah yang diinginkan oleh syaiton. Dan ini adalah bentuk dari kesesatan dan itu semua menunjukkan bahwasanya ini adalah bertentangan dengan Islam itu sendiri.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Fadhlul Islam]