Para ulama setelah mereka selesai berusaha untuk mengumpulkan cabang-cabang keimanan yang ada di dalam Al-Qur’an, maka mereka kembali membuka hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang tentunya mereka para ulama adalah ahlinya.
Itu adalah makanan mereka sehari-hari. Mereka juga menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam sebagaimana mereka menghafal Al-Qur’an. Kesibukan mereka memang dalam Al-Qur’an dan juga Hadits yang merupakan masdar dari ilmu ini.
Akhirnya mereka satu persatu membuka hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Akhirnya terkumpul di hadapan mereka jumlah yang banyak, cabang-cabang keimanan di dalam Al-Qur’an, dan cabang-cabang keimanan yang ada di dalam As-sunnah.
Misalnya, cabang-cabang keimanan yang ada di dalam Al-Qur’an ada 50 sementara yang ada di dalam As-Sunnah ada 40. Kemudian mereka lihat kembali ternyata diantara cabang-cabang keimanan tadi ada yang berulang.
Puasa disebutkan di dalam Al-Qur’an dan juga disebutkan di dalam As-Sunnah.
Shalat lima waktu disebutkan di dalam Al-Qur’an dan juga disebutkan di dalam As-Sunnah.
Birul walidain disebutkan di dalam Al-Qur’an dan juga disebutkan di dalam As-Sunnah.
Maka yang berulang tentunya dicoret. Dikumpulkan oleh mereka ternyata mereka mendapatkan bahwasanya jumlah cabang-cabang keimanan yang mereka kumpulkan itu seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam بضع وسبعون شعبة ( iman ini adalah 70 cabang lebih).
Ada diantara mereka yang menghitung ada 73.
Ada diantara mereka yang menghitung ada 74.
Ada diantara mereka yang menghitung katanya lebih dari itu.
Kenapa di sini sampai berbeda satu dengan yang lain? Sebagian menyebutkan ini kembali kepada ijhtihad (pendapat) mereka.
Ada diantara mereka terkadang memandang dua amalan dianggap itu adalah satu amalan. Sebagian yang lain melihat adanya perbedaan.
Ini bisa melihat, ini tidak melihat. Ini rejeki dari Allah. Mungkin ilmu yang Allah berikan kepada sebagian, sehingga dia bisa membedakan.
Misalnya tentang masalah Al-Khauf wal Khasy-yah mungkin sebagian membedakan.
Apa bedanya Al-Khauf wal Khasyyah?
Dia adalah rasa takut, sehingga dijadikan satu, dalil tentang Khauf yaitu dalil tentang Khasy-yah.
Adapun yang lain maka sebagian bisa memiliki ilmunya dan bisa membedakan, kemudian mengatakan oh Khasy-yah itu demikian, Khauf itu demiķan.
Sehingga dijadikan beda cabangnya, tapi semuanya sama-sama mengatakan bahwasanya Khauf dan Khasy-yah adalah bagian dari keimanan. Tapi yang jelas mereka mendapatkan seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Ini adalah hikmah kenapa Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan بضع وسبعون شعبة, Beliau tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Allah tahu bahwasanya kelak akan ada perbedaan pendapat diantara para ulama.
Dua ibadah dianggap itu satu. Atau satu ibadah dipisah karena dia memiliki makna yang berbeda.
Dan para ulama ketika mereka sudah mengumpulkan cabang-cabang keimanan tadi seperti misalnya Al-Baihaqi, beliau punya kitab Syu’bul Iman (cabang-cabang keimanan) tentunya setelah mereka mengumpulkan dan persis sebagaimana dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam, bertambah ilmu dan bertambah keimanan. Yang sebelumnya sudah ada keyakinan, tapi ketika mempraktekkan benar, dan merasakan, dan menemukan sendiri apalagi tentunya bukan perkara yang mudah membaca Al Qur’an sambil mentadabburi, mengumpulkan. Ini bukan pekerjaan yang ringan dan mungkin saja mereka bukan hanya sekali untuk melakukannya.
Karena ini berkaitan dengan agama, dua kali, tiga kali mereka mengulang lagi, mengumpulkan kembali cabang-cabang keimanan tadi.
Ketika mereka sudah bisa dan menemukan sebagaimana dikabarkan oleh Nabi, bertambah keimanan mereka. Mereka berusaha untuk mengamalkan.
Jadi dikumpulkan bukan hanya sekedar pengetahuan, bangga bisa mengumpulkan cabang-cabang keimanan tadi, tapi diharapkan dengan dikumpulkan menjadi satu seperti ini dalam satu kitab, memudahkan mereka untuk mengamalkan, memudahkan mereka untuk mengecek mana yang sudah dan mana yang belum.
Jadi mereka dahulu berusaha untuk mewujudkan dan mengamalkan 70 cabang lebih ini. Mereka ingin menyempurnakan iman. Setelah seseorang mengetahui ternyata cabang-cabang keimanan adalah ini, maka dia berusaha untuk menyempurnakan.
Bagaimana cara menyempurnakan iman?
Semakin banyak dia mengamalkan cabang-cabang keimanan tersebut maka akan semakin sempurna imannya.
Beda antara orang yang mengamalkan 60 cabang dengan orang yang hanya mengamalkan 30 cabang.
Inilah keadaan yang mereka berlomba di dalamnya. Berlomba di dalam menyempurnakan iman, bukan berlomba dalam masalah dunia. Tapi berlomba siapa diantara mereka yang paling banyak mewujudkan cabang-cabang keimanan. Sehingga tidak heran apabila para ulama Salaf, para imah dahulu, mereka terkumpul dalam diri-diri mereka hishaalul khair, cabang-cabang keimanan, kebaikan-kebaikan. Dia adalah seorang ahli ibadah dan dia adalah seorang ahli ilmu, sekaligus dia adalah seorang mujahid, sekaligus dia adalah orang yang senang berinfaq, dan seterusnya.
Inilah maksud mereka mengumpulkan cabang-cabang keimanan tadi, untuk memudahkan mereka beramal dan untuk memuhasabah diri mereka.
Mana cabang keimanan yang belum pernah ana amalkan. Memberi makan orang miskin misalnya.
Ana belum pernah misalnya, menanggung anak yatim, padahal Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ
“Aku dan anak yatim di akhirat seperti dua jari ini (yaitu sangat dekat kedudukannya).”
Akhirnya dia berusaha dengan harta yang dia miliki, kalau memang dia adalah orang yang punya, maka dia mencari ada tidak anak yatim yang bisa ana tanggung. Tetangganya misalnya, atau keluarganya misalnya, ditinggal mati bapaknya dalam keadaan dia masih kecil.
Terus, dia berusaha melihat mana cabang keimanan yang belum dia laksanakan sehingga dia berharap setiap hari keimanannya bertambah. Dan dia bisa ngecek yang sudah pernah dia laksanakan, apakah dia benar-benar ikhlas di dalamnya atau tidak.
Oh yang ini ana masih kurang, yang ini ana masih kurang khusyu’, oh masalah shalat berjama’ah ana belum terlalu bersungguh-sungguh, masih sering terlambat. Masalah menghadiri majelis ilmu ana masih banyak kekurangan di dalamnya.
Terus, dia perbaiki tentang keikhlasannya, tentang disiplinnya, tentang kesungguhannya. Inilah manfaat Kitab Syu’bul Iman. Oleh karena itu kitab-kitab tersebut bagus kita memiliki perhatian terhadap kitab-kitab tadi, diantaranya adalah yang dikarang oleh Al Baihaqi.
Beliau memiliki kitab Syu’bul Iman dan juga Al Haliimi memiliki kitab dalam tema yang sama, yaitu pengumpulan Syu’bul Iman.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]