Kemudian beliau mengatakan,
فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ لِعِبَادَتِهِ؛ فَاعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ لا تُسَمَّى عِبَادَةً إِلا مَعَ التَّوْحِيدِ،
Apabila engkau wahai pembaca, wahai pendengar, mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidak dinamakan ibadah kecuali dengan tauhid.
Seseorang tidak dinamakan beribadah kepada Allah kecuali apabila dia mentauhidkan Allah (mengesakan Allah) di dalam ibadah tersebut.
Apabila seseorang mengaku beribadah kepada Allah, tetapi dia tidak mengesakan Allah di dalam ibadah tersebut (selain dia beribadah kepada Allah juga menyerahkan ibadah kepada selain Allah Azza wa Jalla) maka ini tidak dinamakan dengan ibadah.
Oleh karena itu beliau mengatakan, ibadah dinamakan ibadah, apabila kita bertauhid, hanya mengesakan Allah di dalam beribadah.
Kemudian beliau mengatakan,
كَمَا أَنَّ الصَّلاةَ لا تُسَمَّى صَلاةً إِلا مَعَ الطَّهَارَةِ،
Sebagaimana sholat, tidak dinamakan sholat kecuali apabila ada thoharoh (bersuci).
Apabila seseorang misalnya, melakukan sholat (rukuk, sujud, berdiri), tetapi dia tidak melakukan thoharoh, apakah ini dinamakan sholat?
Secara dhohir, orang menyangka bahwasanya dia sholat. Tetapi karena tidak melakukan thoharoh (bersuci), melakukan sholat tersebut dalam keadaan tidak suci, maka ini tidak dinamakan dengan sholat.
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ -إذَا أَحْدَثَ- حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah Subhānahu wa Ta’āla tidak menerima sholat salah seorang diantara kalian apabila dia berhadats, sampai dia berwudhu.
Berthoharoh adalah termasuk syarat sah-nya sholat. Orang yang sholat tanpa berthoharoh maka tidak dinamakan melakukan sholat.
Ini adalah perumpamaan yang beliau bawakan untuk kita supaya kita mudah memahami ucapan beliau.
Demikian pula ibadah. Apabila seseorang tidak bertauhid di dalam ibadah tersebut, maka ini tidak dinamakan dengan ibadah kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla. Sebagaimana sholat, apabila tidak berthoharoh (bersuci) maka tidak dinamakan dengan sholat.
Kemudian beliau mengatakan,
فَإِذَا دَخَلَ الشِّرْكُ فِي الْعِبَادَةِ فَسَدَتْ،
Maka apabila kesyirikan masuk di dalam sebuah ibadah, maka ibadah tersebut akan menjadi rusak.
كَالْحَدَثِ إِذَا دَخَلَ فِي الطَّهَاَرِة،
Sebagaimana hadats (kecil maupun besar) apabila masuk di dalam thoharoh (maka akan merusak thoharoh tersebut).
Orang yang dalam keadaan suci, apabila ada hadats, baik yang kecil maupun besar, maka kesucian dia menjadi rusak.
Syirik apabila masuk di dalam ibadah seseorang, ibadah tersebut akan menjadi rusak (gugur).
كَمَا قَالَ تَعَالَى:
Sebagaimana firman Allah Subhānahu wa Ta’āla,
(مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِینَ أَن یَعۡمُرُوا۟ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ شَـٰهِدِینَ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَـٰلُهُمۡ وَفِی ٱلنَّارِ هُمۡ خَـٰلِدُونَ)
[Surat At-Taubah 17]
“Tidaklah orang-orang musyrikin, mereka memakmurkan masjid-masjid Allah, dalam keadaan mereka bersaksi bahwasanya mereka adalah orang-orang yang kafir. Merekalah orang-orang yang gugur dan terhapus amalan-amalan mereka, dan mereka akan kekal di dalam neraka.”
Orang-orang musyrikin Quraisy, yang ada di zaman Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, mereka mengaku bahwa mereka memakmurkan Masjidil Haram, memakmurkan Ka’bah, menghormati orang-orang yang datang ke sana, memberikan minum kepada jamaah haji yang datang ke sana. Ini adalah pengakuan orang-orang musyrikin.
Allah mengatakan, “Tidaklah orang-orang musyrikin, mereka yang memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka bersaksi atas diri mereka sendiri bahwasanya mereka adalah orang-orang yang kufur.”
Allah mengatakan bahwasanya amalan-amalan yang mereka lakukan adalah amalan-amalan yang batal (terhapus).
أُو۟لَـٰۤىِٕكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَـٰلُهُمۡ وَفِی ٱلنَّارِ هُمۡ خَـٰلِدُونَ
Mereka adalah orang-orang yang batal amalan-amalannya dan mereka kekal di dalam neraka.
Kenapa batal, padahal mereka melakukan amalan yang besar? Memberikan penghormatan kepada orang-orang yang datang untuk beribadah ke sana. Karena ibadah haji ini sudah ada semenjak zaman dahulu bahkan sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Ibadah haji ini adalah termasuk peninggalan dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang merupakan nenek moyang dari orang-orang Quraisy itu sendiri, meskipun sudah diubah caranya oleh orang-orang Quraisy.
Jadi mereka mengaku memakmurkan masjid-masjid Allah, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang kufur, sehingga Allah batalkan amalan-amalan mereka.
Menunjukkan bahwasanya kesyirikan, kekufuran, ini bisa membatalkan amalan sebagaimana hadats bisa membatalkan thoharoh seseorang.
***
[Disalin dari materi Halakah Silsilah Ilmiah (HSI) Abdullah Roy Bab Qawa’idul Arba’]