Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
فَبَيَّنَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ هَذَا بَيَانًا شَائِعًا ذَائِعًا بِكُلِّ وَجْهٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْبَيَانِ شَرْعًا وَقَدَرًا
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjelaskan perkara ini dengan penjelasan yang cukup dengan berbagai uslub (cara) baik secara syar’iat maupun dengan taqdir.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan pentingnya mendengar dan taat kepada penguasa dengan penjelasan yang sangat jelas. Didalam Al Qurān dan dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam hadīts-hadīts yang shahīh baik dengan tinjauan syar’iat maupun dari segi taqdir.
Didalam Al Qurān diantaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allāh dan taatlah kalian kepada rasūl, dan ulil amri “diantara kalian” (QS. An-Nissā’: 59)
Dan yang dimaksud dengan ulil amri disini adalah para ulamā dan para pemerintah (para penguasa).
Allāh mengatakan kepada orang-orang beriman:
“Wahai orang-orang yang beriman (yang merasa bahhwasanya dia beriman kepada Allāh, beriman kepada malāikat, beriman kepada kitāb-kitab, beriman kepada para rasūl, beriman kepada hari akhir, beriman kepada taqdir) Hendaklah kalian taat kepada Allāh dan taat kepada rasūl dan orang yang memerintah diantara kalian”
Ulil amri sebagaimana disebutkan oleh para mufasirin adalah para ulamā dan juga para umara, kita diperintah untuk mentaati mereka, dan ini menunjukkan tentang wajibnya mentaati pemerintah dan juga penguasa, karena Allāh mengatakan, أَطِيعُوا۟ (hendaklah kalian mentaati).
Namun ketaatan kepada seorang penguasa dan pemerintah bukanlah ketaatan yang mutlaq, berbeda dengan ketaatan kepada Allāh dan rasūl Nya.
Oleh karena itu ketika menyebutkan Allāh dan juga rasūl Nya, didahului dengan kalimat أَطِيعُوا۟.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ
Karena ketaatan kepada Allāh dan rasūl Nya adalah ketaatan yang mutlaq.
Adapun ketika menyebutkan ulil amri maka Allāh mengatakan وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ (dan pemerintah diantara kalian) Karena ketaatan kepada pemerintah dan penguasa bukanlah ketaatan yang mutlaq, akan tetapi ketaatan yang berada didalam ketaatan, ketaatan di dalam ketaatan kepada Allāh dan rasūl Nya.
Apabila seorang pemerintah dan penguasa, memerintah dengan perkara yang sesuai dengan syar’iat, sesuai dengan kehendak Allāh dan rasūl Nya, maka perintah tersebut harus ditaati.
Namun apabila dia memerintah dengan kemaksiatan dengan sebuah dosa dengan sebuah perkara yang bertentangan dengan syar’iat Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka perintah tersebut tidak boleh ditaati.
Adapun didalam hadīts maka diantara dalīl yang menunjukkan penting dan wajibnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah adalah tadi yang kita sebutkan ketika beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) berwasi’at kepada para shahābat.
⑴ Wasi’at dengan ketaqwaan.
⑵ Wasi’at dengan mendengar dan taat kepada penguasa meskipun yang berkuasa adalah seorang budak dari Habasyah.
Dan diantara dalīlnya dari sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah ucapan Ubadah ibnu Shāmid ketika beliau mengatakan:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا، وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا
“Kami dahulu membaiat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk mendengar dan taat baik ketika kami dalam keadaan semangat maupun dalam keadaan malas baik dalam kesusahan maupun dalam kemudahan”
Mendengar dan taat meskipun harus diambil sebagian dari hak kami, baik hak harta maupun yang lain.
Meskipun diambil sebagian hak kita, baik harta maupun yang lain, maka tidak boleh ini menjadikan kita keluar dari ketaatan kepada pemerintah.
Kemudian beliau mengatakan:
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ
“Dan kami telah membaiat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk tidak memberontak, untuk tidak mengambil kekuasaan dari yang memiliki”
Ini adalah isi dari baiat para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, diantaranya adalah supaya kita tidak mengambil kekuasaan dari pemiliknya.
Yaitu memberontak kepada pemerintah, memberontak kepada penguasa yang sah, maka ini diharamkan didalam agama kita.
Kemudian beliau mengatakan:
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ.
“Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang jelas kekāfiran yang jelas dari pemerintah tersebut dan engkau memiliki dalīl (memiliki burhan) yang sangat jelas yang tidak ada kesamaran didalamnya maka dalam keadaan seperti itu boleh seseorang memberontak”
Yaitu apabila melihat kekufuran, dan disini beliau mengatakan كُفْرًا بَوَاحًا (kekufuran yang jelas) artinya, bukan sekedar keragu-raguan atau kekufuran yang samar, kekufuran yang jelas maksudnya adalah kekufuran yang semua umat Islām bersepakat atas kekufuran tersebut.
Dan disana ada dalīl yang jelas didalam Al Qurān maupun hadīts yang mengatakan bahwasanya ini adalah sebuah kekufuran dan bukan hanya sekedar keraguan, bukan sekedar kemaksiatan. Engkau memiliki dalīl dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas masalah tersebut.
Dan para ulamā menyebutkan ini adalah perkecualian, dan ini menunjukkan kepada kita hanya sekedar melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang penguasa maka ini tidak menjadikan dan tidak membolehkan seseorang untuk keluar dan memberontak kepada pemerintah, karena beliau mengatakan كُفْرًا بَوَاحًا (sebuah kekāfiran yang sangat jelas).
Adapun hanya melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh pemerintah, maka ini tidak boleh menjadikan seseorang keluar dan memberontak kepada pemerintah tersebut.
Yang dinamakan dengan korupsi, maka ini adalah sebuah kemaksiatan dan bukan kekufuran dan tidak boleh menjadikan seseorang atau menjadikan seseorang memberontak dan keluar kepada pemerintah.
Berbuat zhālim adalah kemaksiatan, kemaksiatan tersebut akan ditanyakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada penguasa di hari kiamat, kemaksiatan dia adalah untuk dia sendiri dan kewajiban kita adalah mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut, selama perintah tersebut sesuai dengan syar’iat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ucapan beliau:
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا
Menunjukkan kepada kita bahwasanya kemaksiatan tidak menjadikan seseorang keluar dari ketaatan kepada pemerintah kita.
Dan disini beliau memberikan syarat-syarat yang ketat sebuah kekāfiran dan kekāfiran tersebut adalah kekāfiran yang sangat jelas dan memiliki dalīl yang sangat kuat.