Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sifat orang yang beriman.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. At Tawbah: 71)
Dan orang-orang yang beriman yang laki-laki dan wanita sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.
Apa sifat mereka?
Mereka saling beramar ma’ruf nahi munkar
⇒ menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang beriman adalah beramar ma’ruf nahi munkar.
Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita berpecah belah didalam agama.
Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar disini adalah amar ma’ruf nahi munkar yang mengikuti batasan-batasan syar’iat yang mengikuti adab-adab yang telah ditentukan oleh syar’iat.
Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan tetapi tidak beraturan.
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan rasūl Nya. Caranya, adab-adabnya dan hukum-hukumnya telah ditentukan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan Rasūl Nya.
Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran didalam masalah ijtihādiyyah (yaitu) masalah yang masih menerima ijtihād didalamnya karena tidak ada naskh didalam perkara tersebut.
Sebagian ulamā (sebagian imām yang empat) mengatakan demikian, sebagian imām yang lain mengatakan demikian, maka didalam perkara ini tidak ada pengingkaran.
Seperti (misalnya):
√ Sebagian menganggap bahwasanya menyentuh lawan jenis adalah membatalkan wudhū’, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhū’.
√ Dalam masalah yang lain, makan daging unta membatalkan wudhū’, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhū’
Maka ini adalah termasuk masa’il (masalah-masalah) ijtihādiyyah yang menerima ijtihādiyyah didalamnya, karena tidak ada naskh yang shārih.
Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran.
Namun didalam perkara yang jelas disana ada naskh yang shārih, dan perkara ini tidak ada diantara shahābat yang berselisih didalamnya maka tidak sepantasnya seorang muslim dan muslimah berselisih didalam perkara tersebut.
Seperti misalnya:
√ Ada orang yang meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
√ Ada sebagian yang mengatakan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Didalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita saling berselisih karena jelas didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah penutup para nabi (خاتم النبين)
Demikian pula didalam hadīts, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
وأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ ، لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku”
Dan tidak ada diantara shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, para tābi’in, para tabiut tābi’in yang mereka meyakini ada nabi setelah nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah seorang pendusta yang harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islām yang meyakini bahwasanya ada nabi setelah Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Perkara seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihādiyyah.
Demikian pula adanya Al Qur’ān ini telah di tambah atau telah dikurang, atau orang-orang yang mencela para shahābat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ini adalah perpecahan yang tercela.
Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah dirubah, telah ditambah telah dikurangi, dan tidak boleh mengatakan bahwa para shahābat adalah orang yang tercela atau orang-orang yang murtad.
Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan didalam Al Qur’ān bahwasanya Allāh telah menjaga Al Qur’ān.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’ān dan sesungguhnya kami akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)
Menjaga Al Qur’ān baik dari lafadznya maupun dari maknanya.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
لَّا يَأْتِيهِ ٱلْبَـٰطِلُ مِنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
“Tidak akan datang kedalam Al Qur’ān sebuah kebathilan baik dari depannya maupun dari belakannya.” (QS. Fussillat: 42)
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’ān tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah ditambah atau di kurang.
Seandainya ada seseorang diatas gunung dan dia di dalam gua berusaha untuk menambah satu hurufpun didalam Al Qur’ān niscaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menampakan itu ditengah-tengah manusia.
Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslimin mencela para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, mencela mereka atau bahkan mengkāfirkan mereka karena didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas memuji para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum.
Dalam ayat yang banyak.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
مُّحَمَّدٌۭ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًۭا سُجَّدًۭا
“Muhammad adalah utusan Allāh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kāfir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allāh dan keridhāan-Nya” (QS. Al Fath: 29)
Didalam ayat yang lain, Allāh berfirman:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islām) di antara orang-orang Muhājirīn dan Anshār dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allāh ridhā kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allāh” (QS. At Tawbah: 100)
Allāh meridhāi para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, bagaimana seseorang mengatakan bahwasanya para shahābat kāfir padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah meridhāi mereka dan mereka pun ridhā kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan pendapat yang tercela dan harus diingkari dan dijelaskan kepada umat.
Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalīl, sebagian Imām mengatakan pendapat A dan Imām yang lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing memiliki dalīl dan berusaha untuk mengikuti Al Qur’ān berusaha untuk mengikuti sunnah, berusaha untuk mengikuti ijmā’ akan tetapi akhirnya memiliki pendapat yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti Al Qur’ān dan Sunnah maka perselisihan pendapat yang seperti ini diperbolehkan.
Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran dengan melihat dalīl dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka hendaklah dia bertoleransi didalam masalah ini dan tidak memaksakan kehendaknya kepada yang lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imām yang empat (Imām Abū Hanīfah, Imām Mālik, Imām Syāfi’i, dan Imām Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam ahlus sunnah wa al jamā’ah.
Saling berguru antara satu dengan yang lain.
√ Imām Ahmad bin Hambal berguru kepada Imām Syāfi’i.
√ Imām Syāfi’i berguru kepada Imām Mālik bin Annas.
Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka saling mencela satu dengan yang lain, bahkan sebagian berimam kepada yang lain (menjadi makmum kepada yang lain).
Karena mereka memiliki manhaj yang satu jalan yang satu yaitu berusaha didalam ibadahnya sesuai dengan Al Qur’ān sesuai dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Apabila setelah itu terjadi perselisihan maka sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد
“Apabila seorang hākim, seorang ulamā berijtihād kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala, yaitu:
⑴ Pahala berijtihād bersungguh-sungguh dengan melihat dalīl
⑵ Pahala ishābatul haq yaitu bisa mendapatkan kebenaran tersebut.
Akan tetapi apabila dia berijtihād kemudian dia salah didalam ijtihād nya maka dia mendapatkan satu pahala (yaitu) pahala berijtihād, pahala bersungguh-sungguh didalam mencari kebenaran. Ini didalam masā’ilu al ijtihādiyyah.
***
[Disalin dari materi Halakah Silsilah Ilmiah (HSI) Abdullah Roy Bab Ushulussittah]