Demikian pula sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allāh kehendaki kebaikan, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menjadikannya dirinya faqīh (memahami) agamanya.”
Barangsiapa yang Allāh kehendaki kebaikan kepada dirinya diinginkan oleh Allāh menjadi orang yang beruntung.
Ciri-cirinya apa?
⇒ Allāh akan menjadikan dirinya memahami agamanya.
Yang dimaksud dengan fiqih disini adalah ilmu agama dan ini menunjukkan tentang keutamaan menuntut ilmu agama.
Dijadikan dia semangat menuntut ilmu, dijadikan dia mudah untuk memahami agamanya, inilah orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan sebaliknya orang yang tidak Allāh kehendaki kebaikan maka dijadikan dia tidak memahami agamanya.
Dan dalīl-dalīl yang lain apabila kita menemukan lafadz ilmu didalam Al Qur’ān maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ketahuilah bahwasanya ilmu tersebut maksudnya adalah ilmu agama (bukan ilmu yang lain).
Karena sebagian, apalagi dizaman sekarang menganggap semua pengetahuan dinamakan dengan ilmu, sehingga ilmu-ilmu duniapun dianggap itu ilmu yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Padahal para ulamā telah menjelaskan bahwasanya ilmu agama itulah yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts, adapun ilmu-ilmu dunia meskipun dinamakan ilmu oleh sebagian manusia maka itu bukan yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts.
Ilmu dunia apabila digunakan untuk kebaikan, manfaat bagi manusia maka seseorang diharapkan mendapatkan pahala, namun apabila ilmu dunia digunakan untuk mudharat (merusak) maka tentunya orang yang menyebarkannya (mengajarkannya) bukan mendapatkan pahala akan tetapi justru mendapatkan dosa.
Ini perbedaan antara ilmu agama yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts dengan ilmu-ilmu dunia.
Dan yang dimaksud dengan ulamā adalah orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’ān dan juga sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan mengilmui keduanya.
Setelah kita mengetahui apa itu ilmu berarti kita mengetahui siapa itu ulamā (yaitu) orang yang membawa Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Merekalah para ulamā dan merakalah yang telah dipuji oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qur’ān, bahwasanya mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Karena ilmu yang dia miliki, ilmu yang ada didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
√ Merekalah yang paling mengetahui dan mengenal Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
√ Merekalah yang paling takut dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Oleh karena itu Allāh berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَـٰٓؤُا۟
“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allāh diantara hamba-hambanya adalah para ulamā.”(QS. Fāthir: 28)
Kenapa demikian?
√ Karena mereka paling mengenal apa yang ada didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
√ Karena mereka mengenal siapa Allāh dan apa hak nya.
√ Karena mereka mengenal siapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan apa hak nya.
√ Karena mereka mengenal tentang agama Islām ini.
√ Karena mereka mengenal pondasi agama ini dan apa cabangnya, sehingga merekalah yang disifati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebagai hamba-hamba Nya yang sangat takut dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dan didalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Para ulamā adalah pewaris para nabi”(Hadīts shahīh riwayat At Tirmidzī)
Ini menunjukkan bahwasanya ulamā adalah orang yang mengetahui apa yang datang dari para nabi.
Apa yang datang dari mereka?
Yang datang dari mereka adalah apa yang dikatakan oleh Allāh dan apa yang dikatakan oleh rasūl Nya.
Dan tugas mereka (para ulamā) adalah mewarisi apa yang datang dari para nabi, (artinya) mewarisi (mengambil dari mereka) apa adanya dan menyampaikan kepada yang setelahnya.
Jadi tugas ulamā bukan menambah apa yang datang dari para nabi dan bukan mengurangi apa yang datang dari nabi atau merubah-rubah maknanya. Tugas mereka (para ulamā) adalah mewarisi para nabi.
Inilah yang dinamakan dengan ulamā yang datang didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dan ini terkadang samar bagi sebagian orang, sehingga mereka tidak bisa membedakan siapa ulamā dan siapa yang bukan ulamā.
Karena berlalunya masa, berlalunya waktu banyaknya fitnah, banyaknya subhat sehingga sebagian saudara kita tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan ulamā dan mana yang bukan ulamā.
Wallāhu Ta’āla A’lam
***
[Disalin dari materi Halakah Silsilah Ilmiah (HSI) Abdullah Roy Bab Ushulussittah]