Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan:
وَبَيَانُ مَنْ تَشَبَّهَ بِهِمْ وَلَيْسَ مِنْهُمْ
Dan penjelasan siapa orang yang menyerupai mereka (para ulamā), baik menyerupai pakaiannya (misalnya) atau menyerupai ucapannya atau menyerupai perilakunya, atau menyerupai karena mereka memiliki pengikut yang banyak. Padahal mereka bukan termasuk ulamā.
Kata beliau ini perlu dijelaskan dan ini adalah termasuk perkara yang penting, menjelaskan kepada umat tentang siapa ulamā dan siapa yang bukan ulamā.
Apalagi dizaman sekarang hanya sekedar seseorang berani untuk berpidato atau berani untuk tampil kedepan atau dibesar-besarkan oleh media atau dia bisa menghapal satu ayat atau dua ayat atau sekedar memiliki pakaian yang berbeda dengan yang lain, memakai pakaian yang bisa dipakai oleh para ulamā dan dia berani untuk tampil kedepan kemudian dianggap dan diyakini bahwasanya dia seorang yang ‘alim atau seorang ulamā.
Dan ini adalah termasuk usaha iblīs untuk menyesatkan manusia, dan orang yang seperti ini, apa yang dia rusak ini lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.
Karena apabila seorang dianggap oleh manusia sebagai seorang ulamā kemudian dia berfatwa, maka fatwa yang datang dari nya dikhawatirkan adalah fatwa yang tidak berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan Al Qur’ān dan hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًۭا لِّيُضِلَّ ٱلنَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Maka siapa yang lebih zhālim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allāh”
Allāh menghalalkan kemudian dia mengatakan haram diantara manusia, Allāh mengatakan ini disunnahkan kemudian dia mengatakan ini adalah sesuatu yang tidak disunnahkan.
Untuk menyesatkan manusi tanpa dasar ilmu, oleh karena itu hendaklah seorang muslim dan muslimah waspada didalam masalah ini.
Ilmu yang akan kita ambil adalah agama kita, oleh karena itu kita melihat dari siapa kita mengambil agama ini, sebagaimana ucapan sebagian salaf.
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, ilmu yang kita tuntut kita baca, kita pelajari adalah agama kita, maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian”
Seseorang ketika ingin mencari pengetahuan-pengetahuan dunia maka dia akan melihat dari siapa dia mengambil pengetahuan tersebut.
Seseorang ingin mahir dalam komputer, maka dia akan mencari orang yang mahir (yang benar-benar paham) yang dikenal tentang ilmunya didalam masalah komputer.
Maka bagaimana dengan ilmu agama yang berkaitan dengan kebahagiaan kita di dunia maupun di akhirat.
Kemudian beliau mengatakan:
وَقَدْ بَيَّنَ اللهُ تَعَالَى هَذَا الْأَصْلَ فِيْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ قَوْلِهْ: يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِيٓ أُوفِ بِعَهۡدِكُمۡ وَإِيَّٰيَ فَٱرۡهَبُونِ. إِلَى قَوْلِهِ قَبْلَ ذِكْرِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ : {يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ …. الآية
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini didalam awal surat Al Baqarah yaitu dari firman Allāh
يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ
Sampai firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebelum menyebutkan Ibrāhīm alayhissallām يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ beliau rahimahullāh ingin menjelaskan kepada kita tentang makna ilmu dengan mengambil dalīl dari awal surat Al Baqarah (yaitu) ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla menceritakan tentang banī Isrāil yang telah diturunkan kepada mereka Al Kitāb yaitu kitāb Taurāt dan telah diutus kepada mereka para rasūl.
Jadi mereka adalah orang-orang yang berilmu, oleh karena itu dinamakan dengan ahlul kitāb diturunkan kepada mereka Al Kitāb Al Munazal akan tetapi ternyata banī Isrāil mereka tidak mengamalkan apa yang mereka ilmui.
Mengenal Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan tetapi tidak beriman dengan beliau.
Mereka mengenal Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, mengenal anaknya, kapan lahirnya, bagaimana sifatnya, namun mereka tidak beriman dengan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengenal bahwasanya Muhammad adalah Nabi yang hak yang dikabarkan didalam kitāb mereka, akan tetapi tidak mengikuti beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
وَلَمَّا جَآءَهُمْ كِتَـٰبٌۭ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌۭ لِّمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا۟ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُوا۟ كَفَرُوا۟ بِهِۦ ۚ فَلَعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلْكَـٰفِرِينَ
Dan ketika datang kepada mereka (orang-orang banī Isrāil) kitābun mushaddiqun limā ma’ahum (sebuah kitāb dari sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang membenarkan apa yang ada pada mereka) setelah datang Al Qur’ān yang dibawa oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya adalah membenarkan apa yang ada didalam kitāb meraka.
وَكَانُوا۟ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟
Dan sebelumnya orang-orang Yahūdi, orang-orang banī Isrāil, mereka mengancam orang-orang kāfir dari musyrikin yaitu orang-orang musyrikin yang ada di kota Madīnah ini.
Orang-orang Yahūdi dahulu tinggal disini dikota Madīnah berdampingan dengan orang-orang musyrikin sebelum mereka masuk Islām.
Orang-orang Yahūdi sering mengancam dan mengatakan kepada orang-orang musyrikin sebentar lagi akan datang seorang nabi dan kami akan memerangi kalian bersama nabi tersebut.
Kami akan beriman dengan nabi tersebut dan kami akan memerangi kalian bersama nabi tersebut. Tetapi ketika datang apa yang mereka ketahui datang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersama beliau Al Qur’ān, tiba-tiba mereka kufur dan mengingkari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengatakan bahwasanya beliau adalah seorang pendusta, mengatakan bahwasanya dia bukan nabi yang dimaksud, karena kesombongan mereka, padahal mereka sangat tahu bahwasanya itu adalah seorang nabi dan itu adalah nabi yang dimaksud didalam kitāb mereka.
Bahkan sebagian mereka mengutus seseorang kekota Mekkah saat itu untuk menanyakan kepada beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tiga perkara, dimana tiga perkara ini tidak mungkin menjawabnya kecuali seorang nabi.
Ditanyakan kepada beliau tentang;
⑴ Ashabul kahfi
⑵ Dzulqarnain.
Setelah Allāh Subhānahu wa Ta’āla menurunkan surat Al Kahfi beliau bisa menjawab itu semua.
Tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut, kecuali seorang nabi yang diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, mereka tahu bahwasanya itu adalah seorang nabi atau nabi yang diutus dan yang dimaksud olah Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam kitāb mereka.
Tapi mereka mengingkari dan kufur karena kesombongan.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:
يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ
“Wahai banī Isrāil hendaklah kalian mengingat kenikmatanku yang telah aku berikan kepada kalian”(QS. Al Baqarah: 40)
Kalian telah diberikan kitāb, diutus kepada kalian rasūl dan disebutkan didalam ayat-ayat selanjutnya bagaimana kenikmatan yang Allāh berikan kepada banī Isrāil.
Dahulu mereka dalam cengkraman Fir’aun kemudian diutus Mūsā alayhissallām dan diselamatkan dari Fir’aun dan mereka melihat bagaimana Fir’aun ditenggelamkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kemudian diberikan mereka al ardhu muqadasah (tanah yang suci) dan mereka diperintahkan untuk masuk kedalamnya dan kenikmatan-kenikmatan yang lain, yang banyak yang Allāh berikan kepada banī Isrāil.
Supaya apa?
Ketika mereka mengingat kenikmatan tersebut mereka mau beriman dengan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Cara bersyukurnya adalah dengan cara beriman dengan rasūl terakhir yang Allāh utus kepada mereka.
Sampai firman Allāh:
قَبْلَ ذِكْرِ إِبْرَاهِيْمَ
Yaitu sebelum ayat,
وَإِذِ ٱبْتَلَىٰٓ إِبْرَٰهِـۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَـٰتٍۢ فَأَتَمَّهُنَّ
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
يَـٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ ٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتِىَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّى فَضَّلْتُكُمْ عَلَى ٱلْعَـٰلَمِينَ
“Wahai banī Isrāil, ingatlah kenikmatan yang telah aku berikan kepada kalian dan sesungguhnya aku telah memuliakan kalian diatas alam ini (diatas manusia yang lain).”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengingatkan banī Isrāil tentang kenikmatan-kenikmatan yang Allāh berikan kepada mereka dengan harapan mereka mau beriman dan bersyukur dan mengikuti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. (QS. Al Baqarah: 47)
***
[Disalin dari materi Halakah Silsilah Ilmiah (HSI) Abdullah Roy Bab Ushulussittah]