2. Ke Dua
Kemudian yang ke dua diantara makna dan konsekuensi bahwasanya kita menyaksikan dan bersaksi bahwasanya Beliau adalah seorang Rasulullah, – وتصديقه فيما أخبر -terkadang Beliau membawa akhbar (membawa berita-berita). Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Beliau bahwa dahulu pernah terjadi demikian. Dahulu kisahnya Adam demikian, dahulu kisahnya Musa demikian, sampaikan kepada manusia. Maka Beliau pun menyampaikan kepada manusia Allah telah mewahyukan demikian dan demikian. Nanti sebelum hari kiamat akan terjadi demikian dan demikian, kabarkan kepada manusia. Beliau pun sampaikan kepada manusia sebagaimana yang Allah perintahkan.
Kalau kita membenarkan Beliau pada hakikatnya kita telah membenarkan Allah. Kalau kita mendustakan Beliau di dalam kabar tadi, maka pada hakikatnya kita telah mendustakan Allah Azza wa Jalla, karena Beliau hanya sekedar menyampaikan saja. Apa yang Beliau terima dari Allah itulah yang disampaikan kepada kita, tidak Beliau tambah, tidak Beliau kurangi.
Oleh karena itu hati-hati orang yang ketika mendengar berita dari Beliau ﷺ kemudian mengukurnya dengan akalnya. Kalau masuk akal diterima, kalau tidak masuk akal maka tidak diterima. Beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
[QS An-Najm 3]
“Tidaklah Beliau berbicara dari hawa nafsunya.”
Itu bukan hanya sekedar semaunya saja.
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
[QS An-Najm 4]
“Tidaklah apa yang Beliau ucapkan kecuali itu adalah wahyu yang diwahyukan kepada Beliau.”
Maka benarkanlah ucapan Beliau, berita/kabar yang Beliau sampaikan, baik itu masuk di dalam akal kita ataupun tidak. Kalau kelihatan dhohirnya bertentangan dengan akal, maka ketahuilah bahwasanya yang salah di sini bukan apa yang Beliau sampaikan, tapi yang salah di sini adalah akal kita. Akal kita ini adalah makhluk yang lemah dan masing-masing dari kita mengetahui tentang kelemahan dan kekurangan dari akal yang kita miliki. Banyak di sana perkara-perkara yang dekat dengan kita tapi kita tidak bisa memahaminya, misalnya nyawa, ruh, yang dia bersama kita, kemana-mana dia bersama kita tapi akal kita tidak bisa mengidroknya/tidak bisa memahaminya.
Menunjukan bahwasanya akal manusia adalah makhluk yang lemah (makhluk yang dhoif). Bagaimana dia mendahulukan akal tersebut di atas dalil, sementara dalil adalah berasal dari Allah. Dan akal kita adalah akal yang lemah. Jadi seandainya di sana kita menemukan ada pertentangan antara – الأقل و نقل – maka kita mendahulukan نقل di atas akal manusia dan yakin bahwasanya itu kurang ada pada diri kita.
Dan dalil yang shahih baik dari Al Qur’an maupun Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan akal yang sehat. Seandainya di sana ada yang mengatakan ada pertentangan, ketahuilah bahwasanya di sini yang tidak sehat adalah akal dia.
3. Ke Tiga
Kemudian yang ke tiga adalah menjauhi apa yang dilarang oleh Beliau dan diperingatkan oleh Beliau. Diantara yang Beliau bawa adalah berupa larangan. Allah mewahyukan kepada Beliau, Aku melarang demikian dan demikian, kemudian Beliau sampaikan kepada manusia Allah melarang demikian.
Kalau kita meninggalkan larangan yang keluar dari lisan Beliau yang mulia, maka pada hakikatnya kita telah menjauhi larangan Allah dan kalau kita melanggarnya maka berarti kita telah melanggar larangan Allah. Beliau hanya utusan, menyampaikan kepada kita.
Dan larangan terbagi menjadi 2: ada larangan yang sifatnya haram dan ada larangan yang sifatnya makruh.
Haram jelas, bila dilakukan dia berdosa dan kalau tidak dilakukan karena mengharapkan pahala dari Allah, maka seseorang mendapatkan pahala.
Makruh, jika dilakukan tidak sampai berdosa dan kalau ditinggalkan karena mengharapkan pahala dari Allah, seseorang mendapatkan pahala.
Contoh yang haram misalnya: berzina, minuman keras, riba, melihat sesuatu yang diharamkan, musik, lagu, isbal, dan dosa-dosa besar yang lain.
Adapun makruh, contohnya misalnya,
(فَوَیۡلࣱ لِّلۡمُصَلِّینَ ٱلَّذِینَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ)
[Surat Al-Ma’un 4 – 5]
Ada yang menafsirkan adalah orang yang
يأخرون الصلاة عن وقتها
Contohnya misalnya tidur antara magrib dengan Isya’ ini adalah termasuk yang makruh, berbicara setelah Isya’ maka ini termasuk yang makruh, kecuali menyambut tamu, murojaah, mudzakaroh atau musyawarah untuk kepentingan umat, maka ini tidak masalah, memang ada keperluan.
Atau memakan bawang merah, bawang putih dalam keadaan mentah, termasuk diantaranya jengkol karena illahnya sama, yaitu menjadikan bau, kecuali bawang merah/putihnya dimasak sehingga tidak menimbulkan bau tersebut, maka tidak masalah.
Dan harus kita yakini juga bahwasanya di dalam larangan pasti di sana ada hikmahnya. Allah tidaklah melarang itu baik yang diharamkan maupun yang dimakruhkan kecuali pasti di sana ada hikmahnya. Pasti di dalam larangan ada mudhorot, diketahui atau tidak pasti di sana ada mudhorotnya.
Berzina misalnya, mudhorotnya jelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan banyak penyakit akibat dari zina dan juga hubungan yang bebas. Banyak di sana penyakit-penyakit kelamin, nanah, kemudian HIV, kemudian penyakit-penyakit kelamin yang lain yang diakibatkan oleh berganti-ganti pasangan.
Dan ini sesuatu yang mujarob dan diketahui oleh mereka sehingga terkadang yang menjadi korban bukan hanya pelakunya saja, karena dia sering bebas dan berselingkuh, kemudian di rumah dia bersama suaminya atau bersama istrinya, akhirnya suami/istrinya yang tidak berdosa dia pun terkena. Dan Allah sudah mewanti-wanti sebelumnya,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
“Janganlah mendekati zina, (artinya janganlah kalian melakukan perkara-perkara yang bisa menjerumuskan ke dalam perzinaan tersebut).”
Minuman keras, dari awal sudah dilarang dan juga sudah diharamkan, pasti di sana ada mudhorotnya bagi otak manusia, bagi jiwa manusia. Kandungan alkohol atau kandungan minuman keras itu sangat merusak anggota tubuh manusia, maka dilarang oleh syari’at.
Maka larangan-larangan yang lain kita ketahui prinsipnya sama, kita mengetahui kerusakan-kerusakan dari sebagian larangan tadi maka harus kita yakini di dalam larangan yang lain pasti di situ ada kerusakan.
Oleh karena itu sebagian ulama mengumpamakan sikap seorang muslim ketika menghadapi perintah dan juga larangan yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya, ini seperti sikap seorang ketika dia mau dicukur oleh tukang cukur. Ketika dia masuk ke dalam ruangan diperintahkan untuk duduk, maka dia akan duduk, maka sekali lagi,
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى
[An Nahl 60]
“Dan bagi Allah ini adalah permisalan yang lebih tinggi.”
4. Ke Empat
Kemudian yang ke empat adalah,
وأن لا يعبد الله إلا بما شرع
Diantara makna dan konsekuensi bahwasanya kita menyaksikan dan bersaksi bahwasanya Beliau adalah seorang Rasulullah. Yakin bahwasanya Beliau membawa sesuatu dan diantara sesuatu tadi adalah tata cara ibadah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang mengatakan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون
Dan Dia-lah yang mengatakan,
يا أيها الناس أعبدوا ربكم
Bagaimana cara ibadahnya? Allah mengutus seorang Rasul, sampaikan kepada manusia Aku telah memerintahkan mereka untuk beribadah dan tata cara ibadahnya adalah yang ini.
Maka seseorang yang mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasulullah konsekuensinya berarti tata cara ibadah yang diperintahkan oleh Allah tidak boleh kita ambil kecuali dari Beliau. Kalau tidak, maka jangan harap ibadah kita akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla. Karena Allah tidak akan menerima kecuali Ibadah yang sudah diajarkan lewat Nabinya ﷺ. Dari selain itu Allah tidak menerima meskipun dihiasi, dianggap baik oleh manusia.
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang melakukan sebuah amalan tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.”
Kalau tidak diajari oleh Nabi baik berupa aqidah, berupa ibadah, maka tidak akan diterima oleh Allah.
Apa faedah dan apa hikmah dan apa fungsinya kita mengakui bahwa Beliau adalah Rasulullah tapi ketika kita akan beribadah kemudian kita masih mencari cara selain cara ibadah yang Beliau ajarkan.
Kalau kita meyakini Beliau adalah Rasul-Nya, ya sudah kita mengikuti cara ibadah yang diajarkan oleh Rasul, jangan kita mencari cara yang lain.
وأن لا يعبد الله إلا بما شرع
“Dan tidak disembah Allah kecuali dengan apa yang dia syari’atkan.”
شرع
Di sini Fa’il-nya adalah ضمير مستتر تقدره هو kembali kepada Allah.
Yaitu tidak disembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah yang يشرع (mensyari’atkan).
Ini adalah yang dikuatkan oleh sebagian ulama bahwasanya -شرع – di sini bukan kembali kepada Rasulullah tapi kembali kepada Allah. Dia-lah Asy-Syaari’, adalah Allah, Dia-lah yang menghalalkan, Allah yang mengharamkan, Allah yang menentukan tata cara ibadah maka Allah Dia-lah yang شارع.
Jadi kalau dikatakan Asy-Syaari’ maksudnya adalah Allah. Adapun Rasulullah maka Beliau hanyalah Muballighun Rasulun, hanya sekedar menyampaikan apa yang disampaikan oleh Allah.
Janganlah kita mengitlakan -شرع- kepada Rasulullah ﷺ.
Dan yang disyari’atkan oleh Allah itulah yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ.
Kalau kita memang mengakui Beliau adalah seorang Rasulullah maka kita harus mengikuti cara ibadah Beliau karena cara ibadah Beliau itulah yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa jalla.
Ini menunjukan tentang jeleknya bid’ah dan ini sangat bertentangan dengan syahadat persaksian seseorang bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah. Karenanya orang yang masih senang/bangga dengan bid’ah dan menganggap bid’ah ini adalah hasanah, maka hendaklah dia memurajaah kembali tentang makna Syahadat Muhammad Rasulullah, karena syahadat di sini bukan hanya sekedar كلمة أطلقت وقيلت
kalimat yang hanya sekedar dimutlakkan dan diucapkan yang tidak memiliki makna. Dia adalah كلمة عظيمة (kalimat yang besar) yang memiliki makna, memiliki konsekuensi.
Ini adalah penjelasan beliau dari Syahadatu Anna Muhammadan Rasulullah.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah]