Kemudian Abu Bakar membacakan firman Allah ﷻ
قَالَ اللَّهُ تعالى
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡٔٗاۗ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ
[Aali ‘Imran:144]
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
Dan tidaklah Muhammad kecuali dia adalah seorang rasul
قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
Telah berlalu sebelumnya para rasul yang lain
Bukankah kita meyakini bahwasanya Musa telah meninggal dunia, bukankah kita meyakini bahwasanya Ibrahim telah meninggal dunia, bukankah kita meyakini bahwasanya Shaleh, Hud, telah meninggal dunia. Muhammad ﷺ ini adalah rasul seperti telah berlalu sebelum beliau para rasul dan semuanya meninggal dunia kecuali nabi ‘Isa ‘alaihissalam, Allah ﷻ kehendaki beliau untuk hidup dan akan diturunkan di akhir zaman.
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ
أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ
Apakah seandainya beliau ﷺ meninggal dunia atau beliau ﷺ terbunuh kemudian kalian kembali mundur kembali murtad.
Kita menyembah kepada Allah ﷻ bukan menyembah kepada Muhammad ﷺ, beliau ﷺ meninggal seperti meninggalnya rasul-rasul sebelumnya. Jadi seandainya beliau ﷺ meninggal dunia maka ini tidak sampai mengguncangkan keimanan seseorang sampai menghilangkan keimanan seseorang, tapi dia beriman beliau ﷺ adalah Rasul seperti rasul-rasul yang lain yang meninggal dunia.
Maka Ibnu Abbas menceritakan
وَاللَّهِ لَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الآيَةَ حَتَّى تَلاَهَا أَبُو بَكْرٍ، فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ كُلُّهُمْ، فَمَا أَسْمَعُ بَشَرًا مِنَ النَّاسِ إِلَّا يَتْلُوهَا
Demi Allah ﷻ, kata Abdullah Ibnu Abbas, sepertinya manusia saat itu tidak mengetahui bahwasanya Allah ﷻ menurunkan ayat ini sampai dibaca oleh Abu Bakar As-Siddiq
Padahal mereka sudah mendengarnya, cuma kematian nabi bukan kematian yang biasa, mereka sangat cinta kepada Rasulullah ﷺ, mereka merasa hidup mereka menjadi terang benderang, Madinah ini menjadi terang benderang dengan kehadiran beliau ﷺ
Ketika meninggal dunia maka mereka ditimpa oleh rasa sedih yang luar biasa sampai mungkin ayat yang sebenarnya mereka sudah baca sebelumnya, ketika Abu Bakar As-Siddiq membaca di hadapan mereka seakan-akan mereka baru mendengarnya pertama kali.
Maka disebutkan disini bahwasanya manusia saat itu kemudian mereka membaca ayat tadi, meyakinkan pada dirinya bahwasanya Muhammad ﷺ ini adalah, yang sangat dia cintai yang sangat dia rindukan dan sangat bersyukur kepada beliau ﷺ dengan sebab beliau ﷺ mereka mendapatkan hidayah, beliau ﷺ adalah manusia seperti yang lain pasti akan meninggal dunia dan akan berpisah.
Ini menunjukkan yang pertama tentang keutamaan Abu Bakar As-Siddiq, Allah ﷻ berikan beliau ketenangan plus ketegasan. Kalau memang ini adalah haqq maka beliau tidak takut untuk menyampaikan itu kepada manusia meskipun di depan orang seperti Umar. Beliau punya ketegasan.
Kemudian di antara faidah yang bisa kita ambil di sini, tentang ilmu beliau, jadi banyak saat itu perkara-perkara yang diperselisihkan oleh manusia bisa diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar As-Siddiq, dengan ilmu yang beliau miliki, ini salah satu diantaranya.
Ketika manusia berselisih pendapat tentang perkara yang besar yaitu siapa yang menjadi khalifah setelah Rasulullah ﷺ, berkumpul Muhajirin dan Anshar sampai diantara mereka ada yang mengatakan ‘minna amirun wa minkum amir’ kita punya Amir kalian juga punya Amir.
Jadi orang-orang Muhajirin mengangkat Amir dan orang-orang Anshar juga mengangkat Amir, perkara yang besar yaitu berselisih tentang siapa yang berhak untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah ﷺ. Yang memecahkan adalah Abu Bakar, beliau mengatakan kepada manusia bahwasanya beliau mendengar dari Nabi ﷺ
اْلأَءِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
Para imam itu adalah dari Quraisy
Para pemimpin para khulafa adalah dari Quraisy, bukan karena beliau ingin mengangkat beliau sebagai Imam sebagai khalifah, belum menyampaikan apa yang didengar dari Nabi ﷺ. Nabi ﷺ mengatakan ‘An-Naas, taba’un li Quraisy, muslimuhum li muslimihim wa kafiruhum li kafirihim’, manusia ini mengikuti orang-orang Quraisy, maksudnya adalah di dalam masalah kepemimpinan.
Orang-orang Islam maka mereka menjadikan orang-orang Quraisy sebagai pemimpin mereka, khalifah mereka adalah orang-orang Quraisy. Selama di sana masih ada orang Quraisy yang dia berhak untuk menjadi seorang pemimpin maka dia harus didahulukan dari pada yang lain.
Seandainya tersisa dua orang, satunya orang Quraisy dan satunya bukan orang Quraisy, dan yang orang Quraisy sini dia punya sifat-sifat yang dengannya dia berhak menjadi seorang pemimpin maka kita harus mendahulukan orang Quraisy. Karena Nabi ﷺ menganjurkan dan mengatakan bahwa imam-imam itu adalah dari Quraisy.
Jadi mereka adalah pemimpin termasuk ketika di zaman Jahiliyah orang-orang Quraisy ini sudah menjadi yang dikedepankan yang didahulukan, makanya Nabi ﷺ mengatakan ‘muslimuhum li muslimihim wa kafiruhum li kafirihim’, mereka memang semenjak zaman jahiliyah sudah diutamakan dan sudah dikedepankan.
Ketika mereka Islam pun Allah ﷻ masih memuliakan mereka, menjadikan mereka sebagai orang-orang yang lebih berhak menjadi khalifah. Makanya setelah Rasulullah ﷺ semuanya dari Quraisy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan, muawiyah, Yazid dan seterusnya, baik dari Bani Abbas maupun dari bani Umayyah dua-duanya adalah dari Quraisy.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Utsul Tsalatsah]